Nama lengkapnya adalah Sayyid Qutb
Ibrahim Husain Syadzili. Dia dilahirkan pada tanggal 9 Oktober 1906 M. di kota
Asyut, salah satu daerah di Mesir[1]. Dia merupakan anak
tertua dari lima bersaudara, dua laki-laki dan tiga perempuan. Ayahnya bernama
al-Haj Qutb Ibrahim, ia termasuk anggota Partai Nasionalis Musthafa Kamil sekaligus pengelola majalah al-Liwâ`, salah
satu majalah yang berkembang pada saat itu.
Qutb muda adalah seorang yang sangat
pandai. Konon, pada usianya yang relatif muda, dia telah berhasil menghafal
Al-Qur`an diluar kepala pada umurnya yang ke sepuluh tahun[2].
Pendidikan dasarnya dia peroleh
dari sekolah pemerintah selain yang dia dapatkan dari sekolah Kuttâb (TPA). Pada
tahun 1918 M, dia berhasil menamatkan pendidikan dasarnya.
Pada tahun 1921 Sayyid Qutb
berangkat ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah. Pada
masa mudanya, ia pindah ke Helwan untuk tinggal bersama pamannya, Ahmad Husain
Ustman yang merupakan seorang jurnalis. Pada tahun 1925 M, ia masuk ke institusi diklat keguruan,
dan lulus tiga tahun kemudian. Lalu ia melanjutkan jenjang perguruannya di
Universitas Dâr al-‘Ulûm hingga memporelah gelar sarjana (Lc) dalam bidang
sastera sekaligus diploma pendidikan[3].
Dalam
kesehariannya, ia bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas tersebut.
Selain itu, ia juga diangkat sebagai penilik pada Kementerian Pendidkan dan Pengajaran Mesir, hingga
akhirnya ia menjabat sebagai inspektur. Sayyid Qutb bekerja dalam Kementerian
tersebut hanya beberapa tahun saja. Beliau kemudian mengundurkan diri setelah
melihat adanya ketidak cocokan terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah
dalam bidang pendidikan karena terlalu tunduk oleh pemerintah Inggris[4].
Pada waktu bekerja dalam
pendidikan tersebut, beliau mendapatkan kesempatan belajar ke U.S.A untuk
kuliah di Wilson’s Teacher College dan Stanford University dan berhasil
memperoleh gelar M.A di bidang pendidikann. Beliau tinggal di Amerika selama dua setengah tahun, dan
hilir mudik antara Washington dan California[5].
Melalui pengamatan
langsung terhadap peradaban dan kebudayaan yang berkembang di Amerika, Sayyid
Qutb melihat bahwa sekalipun Barat telah berhasil meraih kemajuan pesat dalam
bidang sains dan teknologi, namun sesungguhnya ia merupakan peradaban yang
rapuh karena kosong dari nilai-nilai spiritual.
Dari pengalaman yang
diaperoleh selama belajar di Barat inilah yang kemudian memunculkan paradigma
baru dalam pemikiran Sayyid Qutb. Atau, bisa juga dikatakan sebagai titik tolak kerangka berfikir sang
pembaharu masa depan. Sepulangnya dari belajar di negeri barat, Sayyid Qutb
langsung bergabung dalam keangotaan gerakan Ikhwân al-Muslimîn yang dipelopori
oleh Hasan al-Banna. Dan dia juga banyak menulis secara terang-terangan tentang
masalahah keislaman. Dari organisasi inilah beliau lantas banyak menyerap
pemikiran-pemikiran Hasan al-Banna dan Abu A’la al-Maududi. Sayyid Qutb
memandang Ikhwan al-Muslimin sebagai satu gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan
kembali syarat politik islam dan juga merupakan medan yang luas untuk
menjalankan Syariat islam yang menyeluruh. Selain itu, dia juga meyakini bahwa
gerakan ini adalah gerakan yang tidak tertandingi dalam hal kesanggupannya
menghadang zionisme, salibisme dan kolonialisme[6].
2. KARYA-KARYA SAYYID QUTB
Sayyid
Qutb adalah seorang yang sangat produktif dalam mengisi kazanah keislaman.
Banyak sekali karya-karya beliau sebagai sumbangsihnya dalam membumikan Islam
di dunia ini, terlebih di masa kontemporer. Bahkan di dalam penjara beliau juga
tetap menulis dan menghasilkan buku-buku dan tafsir. Diantara karya-karya
beliau sebagai berikut[7]
:
- Fi Dzhilall Qur’an
Merupakan salah satu kitab tafsir yang
berpengaruh kuat di era modern ini. Yang sangat menonjolkan akan pergerakan
Islam. Tafsir ini beliau selesaikan dalam penjara[8].
- Hadza Din
- Al-Mustaqbal Li Hadza Ad-Din
- Khasahisut Tashawwuril Islami
- Ma’alim Fi Thariq
- Al-Taswir Al-Fanni Fil Qur’an
- Musyahadatul Qiyamah Fil Qur’an
- Al-Islam Wa Musykilatul Hadharah
- Al-Adalah Al-Ijtima,Iyah Fil Islam
- As-Salam Al-Alami Wal Islam
- Kutub Wa Syahshiyat
- Asywak
- An-Naqdil Adabi Ushuluhu Wa Manahijuhu
- Nahwa Mujtama’ Islami
- Thiflun Minal Qaryah
- Al-Athyaf Al-Arba’ah
- Dan Lain-Lain[9]
3. PEMIKIRAN SAYYID QUTB
Dalam kitabnya yang berjudul
Sayyid Qutb: Khulâshatuhu wa Manhâju Harakatihi, Muhammad Taufiq Barakat
membagi fase pemikiran Sayyid Qutb menjadi tiga tahap[10]
:
- Tahap pemikiran sebelum mempunyai orientasi islam
- Tahap mempunyai orientasi islam secara umum
- Tahap pemikiran berorientasi islam militan.
Pada fase ketiga inilah, Sayyid Qutb sudah
mulai merasakan adanya keenggan dan rasa muak terhadap westernisme,
kolonialisme dan juga terhadap penguasa Mesir. Masa-masa inilah yang kemudian
menjadikan beliau aktif dalam memperjuangnkan islam dan menolak segala bentuk
westernisasi yang kala itu sering digembor-gemborkan oleh para pemikir islam
lainnya yang silau akan kegemilingan budaya-budaya Barat..
Dalam pandangannya, Islam adalah way of life yang
komprehansif. Islam adalah ruh kehidupan yang mengatur sekaligus memberikan
solusi atas problem sosial-kemasyarakatan[11].
Al-Qur`an dalam tataran umat islam dianggap sebagai acuan pertama
dalam pengambilan hukum maupun mengatur pola hidup masyarakat karena telah
dianggap sebagai prinsip utama dalam agama islam, maka sudah menjadi sebuah
keharusan jika Al-Qur`an dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada.
Berdasar atas asumsi itulah, Sayyid Qutb
mencoba melakukan pendekatan baru dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an agar
dapat menjawab segala macam bentuk permasalahan. Adapun pemikiran beliau yang
sangat mendasar adalah keharusan kembali kepada Allah dan kepada tatanan
kehidupan yang telah digambarkan-Nya dalam Al-Quran, jika manusia menginginkan
sebuah kebahagiaan, kesejahteraan, keharmonisan dan keadilan dalam mengarungi
kehidupan dunia ini.
Meski tidak dipungkiri bahwa Al-Qur`an telah diturunkan sejak
berabad abad tahun lamanya pada zaman Rasulullah dan mengganggambarkan tentang
kejadian masa itu dan sebelumnya sebagaimana yang terkandung dalam Qashash
Al-Qur`an, namun ajaran-ajaran yang dikandung dalam Al-Qur`an adalah ajaran
yang relevan yang dapat diterapkan di segala tempat dan zaman.
Maka, tak salah jika kejadian-kejadian masa turunnya Al-Qur`an
adalah dianggap sebagai cetak biru perjalanan sejarah umat manusia pada fase
berikutnya. Dan tidak heran jika penafsiran-penafsiran yang telah diusahakan
oleh ulama klasik perlu disesuaikan kembali dalam masa sekarang.
Berangkat
dari itu, Sayyid Qutb mencoba membuat terobosan terbaru dalam menafsirkan
Al-Qur`an yang berangkat dari realita masyarakat yang kemudian meluruskan apa
yang dianggap tidak benar yang tejadi dalam realita tersebut.
4.
TAFSIR FI ZILALIL QUR’AN
a.
MOTIVASI PENULISAN TAFSIR FI ZILALIL QUR’AN
Pada kata pengantarnya, Sayyid Qutb
mengemukakan kesan-kesanya hidup di bawah naungan al Quran. adalah nikmat.
Nikmat yang tidak diketahui kecuali oleh yang telah merasakanya. Ia merasa
dekat dan mendengar serta berbicara dengan Allah melalui al Quran. Hidup di
bawan naungan al Quran, Sayyid Qutub merasakan keselarasan yang indah antara
gerak manusia sebagaimana kehendak Allah dengan gerak-gerik alam ciptaan-Nya.
Ia melihat kebinasaan yang akan menimpa kemanusiaan akibat pemyimpangannya dari
undang-undang alam ini. Ia menyaksikan benturan yang keras antara ajaran-ajaran
rusak yang dididektekan padanya dengan fitrahnya, yang telah ditetapkan Allah.
Kondisi Mesir tatkala itu sedang porak poranda
ketika Sayyid Qutb telah kembali dari perhelatannya menempuh ilmu di negeri
Barat. Saat itu, Mesir sedang
mengalami krisis politik yang mengakibatkan terjadinya kudeta militer pada
bulan juli 1952. Pada saat itulah, Sayyid Qutb memulai mengembangkan
pemikirannya yang lebih mengedepankan terhadap kritik sosial dan politik[12].
Oleh karenanya, kita
melihat upaya-upaya yang dilakukan Sayyid Qutb dalam tafsirnya lebih cenderung
mengangkat terma sosial-kemasyarakatan.
Dalam tafsir fi Zilalil
Qur’an ini lebih cenderung membahas tentang logika konsep negara islam sebagai
mana yang didengungkan oleh pengikut Ikhwan al-Muslimin lainnya seperti halnya
Hasan Al Banna, Abu A’la al Maududi.
Secara singkatnya,
sebenarnya Sayyid Qutb memulai menulis tafsirnya atas permintaan rekannya yang
bernama Dr. Said Ramadhan yang merupakan redaksi majalah al-Muslimun yang ia
terbitkan di Kairo dan Damaskus. Dia meminta Sayyid Qutb untuk mengisi rubrik
khusus mengenai penafsiran al-Quran yang akan diterbitkan satu kali dalam
sebulan.
Sayyid Qutb menyambut
baik permintaan rekannya tersebut dan mengisi rubrik tersebut yang kemudian
diberi nama Fî Zhilal Al-Qur`an. Adapun mengenai tulisan yang pertama yang dimuat
adalah penafsiran surat al-Fâtihah lantas dilanjutkan dengan surat al-Baqarah.
Namun, hanya beberapa
edisi saja tulisan itu berlangsung yang kemudian Sayyid Qutb berinisiatif
menghentikan kepenulisan itu dengan maksud hendak menyusun satu kitab tafsir
sendiri yang diberi nama Fî Zhilâl Al-Qur`an sama halnya dengan rubrik yang
beliau asuh.
Karya beliau tersebut
diterbitkan oleh penerbit al-Bâbi al-Halabi. Akan tetapi kepenulisan tafsir
tersebut tidak langsung serta merta dalam bentuk 30 juz. Setiap juz kitab
tersebut terbit dalam dua bulan sekali dan ada yang kurang dalam dua bulan dan
sisa-sisa juz itu beliau selesaikan ketika berada dalam tahanan.
b. STRUKTUR TAFSIR FI ZILALIL QUR’AN DAN CIRINYA
Tafsir Sayyid Qutb di
susun dengan Tahlili. Ia memulai penafsiran suatu surat dengan
memberikan gambaran ringkas kandungan surat yang akan dikaji secara rinci.
Dalam surat Al Fatihah misalnya, Sayyid Qutb mengemukakan bahwa dalam surat ini
tersimpul prinsip-prinsip akidah Islam, konsep-konsepsi Islam dan pengarah-pengarahanya
yang mengidentifikasi hikmah. Dipilihnya surat ini karena sebagai bacaan yang
di ulang-ulang dalam setiap rakaat shalat serta tidak sahnya shalat tanpa
membacanya. Setelah itu beliau memperinci penafsiran ayat demi ayat. Begitupula
ketika beliau menafsirkan surat-surat berikutnya.
Dalam menafsirkan surat
yang panjang, Sayyid Qutb mengelompokkan sejumlah ayat sebagai kesatuan, sesuai
dengan pesan yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut. Dalam menafsirkan
surat Al Baqarah misalnya, beliau menetapkan ayat pertama sampai ayat 29 sebagai
bagian pertama pembahasan. Selanjutnya beliau menafsirkan ayat 30 - 39, ayat 40
– 74, ayat 75 – 103, dst. Dibandingkan dengan pengelompokan oleh Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha dalam Tafsir Al Manar, pengelompokan Sayid Qutb relatif lebih
besar.
Dalam menafsirkan ayat, ia menggunakan ayat-ayat al Quran sebagai penjelas.
Dalam menafsirkan ayat, ia menggunakan ayat-ayat al Quran sebagai penjelas.
Sayyid Qutb menggunakan
hadist-hadist Nabi SAW sebagai penjelas. Sebagian dengan menyebut perawi
pertama dan terakhir, tanpa menyertakan rangkaian sanadnya secara lengkap.
Terkadang hanya dengan menyebutkan rawi terakhirnya. Misalnya, hadist tentang
keharusan membaca surat Al Fatihah yang di riwayatkan Bukhari dan Muslim.
Kemudian melengkapi
Tafsirnya dengan perkataan sahabat, misalnya perkataan Umar tentang permohonan
suaka penduduk Iraq, terkait surat Al Baqarah:100 tentang menepati janji.
Juga mengutip
pendapat-pendapat ulama terdahulu. Seperti mengutip Tafsir Ibn Katsir mengenai
peristiwa Bai’ah Aqabah. Kemudian dari Al Bidayah Wan Nihayah tentang lamanya
Nabi tinggal di Makkah selama 10 tahun.
Sayyid Qutb menekankan
analisis munasabah, keseimbangan, dan keserasian dalam surat. Misalnya, uraian
tentang Nabi Musa diikuti dengan uraian tentang bani Israil, persesuaian antar
pembukaan surat dengan penutupnya sseperti tampak dalam surat Al-Baqarah, yang
mengutarakan sifat-sifat orang beriman dan karakteristik orang beriman. Yang
tak kalah penting, ia menekankan analisis rasional.
c. CORAK
PENAFSIRAN SAYYID QUTB DALAM TAFSIR FI ZILALIL QUR’AN
Bisa dikatakan kitab Fî
Zhlilil al-Qur`an yang dikarang oleh Sayyid Qutb termasuk salah satu kitab
tafsir yang mempunyai terobosan baru dalam malakukan penafsiran al-Qur`an.
Hal ini dikarenakan
tafsir beliau selain mengusung pemikiran-pemikiran kelompok yang berorientasi
untuk kejayaan islam, juga mempunyai metodologi tersendiri dalam menafsirkan
al-Qur`an. Termasuk diantaranya adalah melakukan Pembaruan dalam bidang
penafsiran dan disatu sisi beliau mengesampingkan pembahasan yang diarasa
kurang begitu penting.
Salah satu yang
kekhususan dari corak penafsiran beliau adalah mengetengahkan segi sastera
untuk melakukan pendekatan dalam menafsikan al-Qur`an. Sisi sastera beliau terlihat jelas ketika kita
menjulurkan pandangan kita ke tafsirnya bahkan dapat kita lihat pada barisan
pertama.
Akan tetapi, semua
pemahaman uslub al-Qur`an, karakteristik ungkapan al-Qur`an serta dzauq yang
diusung semuanya bermuara untuk menunjukkan sisi hidayah al-Qur`an dan
pokok-pokok ajarannya yang dikemukakan Sayyid Qutb untuk memberikan pendekatan
pada jiwa pembacanya pada khususnya dan orang-orang islam pada umumnya. Melalui
pendekatan semacam ini diharapkan Allah dapat memberikan manfaat serta
hidayah-Nya. Karena pada dasanya, hidayah merupakan hakikat dari al-Qur`an itu
sendiri. Hidayah juga merupakan tabiat serta esensi al-Qur`an.
Menurutnya, al-Qur`an
adalah kitab dakwah, undang-undang yang komplit serta ajaran kehidupan. Dan
Allah telah menjadikannya sebagai kunci bagi setiap sesuatu yang masih tertutup
dan obat bag segala penyakit. Pandangan seperti ini beliau sarikan dari firman
Allah yang berbunyi, “Dan kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi
penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman...” dan firman Allah.
“Sesungguhnya Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih
lurus...”
Sejak pada barisan
pertama dalam kitab kitab tafsirnya, Sayyid Qutb sudah menampakkan
karakterisktik seni yang terdapat dalam al-Qur`an. Dalam permulaan surat
al-Baqarah misalnya, akan kita temukan gaya yang dipakai al-Qur`an dalam
mengajak masayarakat Madinah dengan gaya yang khas dan singkat. Dengan hanya
beberapa ayat saja dapat menampakkan gambaran yang jelas dan rinci tanpa harus
memperpanjang kalam yang dalam ilmu balaghah disebut dengan ithnab, namun
dibalik gambaran yang singkat ini tidak meninggalkan sisi keindahan suara dan
keserasian irama.
d. METODOLOGI PENAFSIRAN FI ZILALIL QUR’AN
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
merupakan tafsir kontemporer yang paling actual dalam memberikan terapi
berbagai persoalan dan menjawab berbagai tuntutan abad modern ini berdasarkan
petunjuk al-Qur’an.
Di antara persoalan dan
tuntutan abad modern yang paling menonjol adalah persoalan seputar pemikiran,
ideologi, konsepsi, pembinaan, hokum, budaya, peradabaan, politik, psikologi,
spritualisme, dakwah dan pergerakan dalam suatu rumusan kontemporer sesuai
dengan tuntutan zaman. Berbagai persoalan ini, di samping persoalan-persoalan
lainnya, mendapatkan perhatian yang memada di dalam tafsir ini.
Sehingga membuat tafsir
ini terasa sangat actual apalagi gagasan-gagasan Sayyid Qutb yang tertuang di
dalam tafsir ini sangat orisinil berdasarkan nash-nash al-Qur’an tanpa
terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran asing.
Karena itu tafsir Fi
Zhilalil Qur’an dapat dikatagorikan sebagai tafsir corak baru yang khas dan
unik, serta langkah baru yang jauh dalam tafsir. Zhilal juga dapat
dikatagorikan sebagai aliran khusus dalam tafsir, yang dapat disebut sebagai
“aliran tafsir pergerakan”. Sebab metode pergerakan (al-manhaj al-haraki) atau
metode realistis yang serius tidak ada didapati selain pada tafsir fi Zilalil
Qur’an.
Sumber-sumber fi Zilalil
Qur’an berbeda dari sumber-sumber tafsir lainnya disebabkan perbedaan karakter
dann tujuannya. Sumber-sumber dalam Zhilal itu tidaklah mendasar atau pokok
(primer), akan tetapi sifatnya sekunder, sebab Sayyid Qutb menyebutkannya
untuk memberikan contoh dan bukti dari yang apa yang ia katakana. Ini adalah bagian dari beberapa keistimewaan Zhilal.
Mengenai
klasifikasi metodologi penafsiran, Dr. Abdul Hay al-Farmawy seorang guru besar
Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Qur`an Universitas al-Azhar membagi corak dalam
menafsirkan al-Quir`an menjadi tiga bentuk, yaitu tahlily, maudhu’i dan ijmâli
muqarin. Dilihat dari corak penafsiran yang terdapat yang tafsir Fî Zilâlil
Al-Qur`an dapat digolongkan kedalam jenis tafsir tahlili. Artinya, seorang
penafsir menjelaskan kandungan ayat dari berbagai aspek yang ada dan
menjelaskan ayat per ayat dalam setiap surat sesuai dengan urutan yang terdapat
dalam mushaf[13].
Menurut Issa
Boullata, seperti yang dikutip oleh Antony H. Johns, pendekatan yang dipakai
oleh Sayyid Qutb dalam menghampiri Al-Qur`an adalah pendekatan tashwîr
(penggambaran) yaitu suatu gaya penghampiran yang berusaha menampilkan pesan
Al-Qur`an sebagai gambaran pesan yang hadir, yang hidup dan konkrit sehingga
dapat menimbulkan pemahaman “aktual” bagi pembacanya dan memberi dorongan yang
kuat untuk berbuat. Oleh karena itu, menurut Sayyid Qutb, qashash yang terdapat
dalam Al-Qur`an merupakan penuturan derama kehidupan yang senantiasa terjadi
dalam perjalanan hidup manusia. ajaran-ajaran yang terkandung dalam cerita
tidak akan pernah kering dari relevansi makna untuk dapat diambil sebagai
tuntunan hidup manusia. Dengan demikian, segala pesan yang terdapat dalam
Al-Qur`an akan selalu relevan uuntuk dibawa dalam zaman sekarang[14].
Mengaca dari
metode tashwir yang dilakukan oleh Sayyid Qutb, bisa dikatakan bahwa tafsir Fî
Zhilâl Al-Qur`an dapat digolongkan kedalam tafsir al-Adabi al-Ijtimâ’i (sastera,
budaya, dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat background beliau yang merupakan
seorang sastrawan hingga beliau bisa merasakan keindahan bahasa serta
nilai-nilai yang dibawa al-Qur’an yang memang kaya dengan gaya bahasa yang
sangat tinggi.
5.
WAFATNYA SAYYID QUTB
Pada tahun 1965, Sayyid Qutb divonis hukuman
mati atas tuduhan perencanaan menggulingkan pemerintahan Gamal Abdul Nasher.
Sebelum dilakukan eksekusi Gamal Abdul Nasher pernah meminta Sayyid Qutb untuk
meminta maaf atas tindakan yang hendak dilakukannya, namun permintaan tersebut
ditolak oleh Sayyid Qutb[15].
[1] Sayyid
Quthb, Tafsir fi zilalil-Qur’an di bawah naungan al-Qur’an terj. As’ad
yasin, dkk. halmn. 406
[2]
Ibid, hlmn.406
[3]
Ibid., hlmn. 406
[4]
Ibid, halmn. 406
[5] Muhammad Razi, 50 Ilmuan
Muslim Populer, halmn.36
[6] Ibid., halmn.149
[7] Sayyid Qutb, Tafsir fi
Zilalil Qur’an, terj.As’ad Yasin dkk., jild 1., halmn.407
[8] Ibid., halmn.149
[9] Al-mutasyar Abdullah al-aqil, “mereka yang telah pergi”,
Terjemah,Khozin abu faqih, Jakarta: Al-I’tisham, 2003, Halmn. 606
[10] Sayyid Qutb, Tafsir fi Zilalil Qur’an,
terj.As’ad Yasin dkk., jild 1., halmn. 406-407
[11] Ana Belen Soage, Hasan al-Banna and Sayyid Qutb :
Continuity or Rupture?, The Muslim World, 2009., halmn. 295
[12]
Sayyid Qutb, Tafsir fi Zilalil Qur’an, terj.As’ad Yasin dkk., jild 1., halmn.407